Saturday, February 4, 2012

KERAJAAN TURIKALE - Bagian I


LATAR BELAKANG SEJARAH


Pada awalnya di Wilayah Turikale hanya berdiam segelintir manusia dengan cara hidup tidak menetap. Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan daerah persawahan. Sungai Maros melintas ditengahnya. Setelah Karaeng LoE ri Marusu (Raja Maros III) memindahkan pusat kerajaan dari Pakere ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa kampung di sekitarnya yang banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat kerajaan yang baru membuka perkampungan dan pemukiman baru. Dengan demikian secara lambat laun wilayah Turikale pun mulai ramai ditempati orang sehingga tercipta menjadi sebuah perkampungan dan pemukiman penduduk yang ramai dan berkembang.

Ketika Maros menjadi sebuah Kerjaan Islam di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Karaengta Barasa), daerah ini dijadikan sebagai tempat pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama dari Kerajaan Gowa/Tallo.

Putera Karaengta Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare Yunusu), dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama Islam di Bontoala. Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan salah seorang putera Raja Tallo (I Mappau’rangi Karaeng Boddia) yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri. Persahabatan yang terjalin di antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua setiap ada kesempatan saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal, baik menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.

Setelah Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Raja Maros VIII. Sebagai raja yang bijak dan alim serta tinggi ilmu agamanya, tentulah Ia ingin pula memajukan Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam di kerajaannya, seperti yang telah dirintis oleh almarhum ayahandanya. Kemudian diajaknya sahabatnya ketika menjalani pendidikan dulu (I Mappibare Daaeng Mangiri) untuk menetap di Maros demi mewujudkan keinginannya. I Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan memenuhi ajakan sahabatnya lalu menetaplah Ia di Maros dan kepadanya diberikan Wilayah ini sebagai wilayah yang dikuasainya sekaligus sebagai tempat I Mappibare Daeng Mangiri melaksanakan kegiatan pengembangan Ilmu Agama Islam. Perkampungan yang diberikan kepadanya itu diberi nama TURIKALE artinya Kerabat Dekat, untuk memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang diberi kuasa menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.

Maka jadilah Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan menjadi wilayah yang teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Banyak ulama dari berbagai negeri datang ke Turikale, bahkan ulama keturunan Sayyid pun berlabuh di Turikale yang selanjutnya menempati perkampungan bernama Labuan dan Kassi.

Tarekat Khalwatiah Yusuf/Tajul Khalwatiah berkembang dengan pesat akibat integrasi dan kulturasi para ulama dengan sanak keluarga dan pengikut I Mappibare Daeng Mangiri. Meski kelihatan bahwa Turikale telah menjelma menjadi sebuah wilayah yang berkembang, namun statusnya sebagai wilayah otorita pengembangan Islam tetap dipertahankan, tetap seperti ide dasar pembentukannya. Bukan sebagai wilayah hukum berpemerintahan sehingga kesannya seperti sebuah daerah khusus istimewa.

I Mappibare Daeng Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa bernama I Duppi Daeng Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya digantikan oleh puteranya bernama I Daeng Silassa. Keadaan Turikale dari waktu ke waktu, tahun ke tahun menjadi semakin ramai dan berkembang. I Daeng Silassa memperistrikan sanak keluarganya dari Gowa/Tallo yang bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan sepasang putera-puteri, yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.

I Lamo Daeng Ngiri inilah yang kemudian membuka babakan baru di Turikale setelah menjadikan Turikale tidak saja sebagai daerah pengembangan Agama Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi dan berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I Lamo Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat luas bahkan meliputi kurang lebih 40 kampung menyatakan ikut dalam wilayah hukum Turikale.

Sejak itu, sekitar tahun 1796, kurang lebih lima puluh tahun sejak dibuka oleh I Mappibare Daeng Mangiri, akhirnya oleh cucunya I Lamo Daeng Ngiri memproklamirkan berdirinya Turikale sebagai sebuah Kerajaan berpemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan hukum kerajaan manapun juga.

LAHIRNYA SISTEM PEMERINTAHAN ADAT DI TURIKALE


Setelah berdiri sebagai sebuah wilayah pemukiman terbuka selama kurang lebih lima puluh tahun, maka sejak tahun 1796 oleh I Lamo Daeng Ngiri, cucu dari I Mappibare Daeng Mangiri mendirikan sistem pemerintahan adat secara resmi di Turikale dan oleh para pemuka masyarakat menetapkan secara resmi I Lamo Daeng Ngiri sebagai kepala pemerintahan dengan gelar I DAENG ri TURIKALE.

Sebagai I Daeng ri Turikale yang pertama, I Lamo Daeng Ngiri mulai menata sistem pemerintahan secara teratur. Pada kampung-kampung yang menyatakan diri mengikuti prngaruhnya diangkat kepala-kepala kampung. Pada kampung yang penduduknya berbahasa Makassar, kepala kampungnya disebut Gallarang, sedangkan yang berbahasa Bugis kepala kampungnya disebut Matoa. Sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan dan belanja kerajaan mulai dilakukan secara sederhana meski masih bersendikan pada aturan Islam secara dominan.

Wilayah-wilayah yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu :
1. Redaberu
2. Solojirang
3. Bontokapetta
4. Kasuwarang
5. Soreang
6. Bontocabu
7. T a m b u a
8. Kassijala
9. Pattalasang
10. Rea-rea
11. Manrimisi Turikale
12. Kuri Caddi
13. Sungguminasa
14. D a t a
15. Panaikang
16. Buttatoa
17. Tumalia
18. Baniaga
19. Maccopa
20. K a s s i
21. B u l o a
22. Sangieng (Tana Matoana Turikale)
23. Pakalli
24. Bonti-bonti
25. Paranggi
26. Moncongbori
27. Mangngai
28. Manarang
29. Camba Jawa
30. Bunga Ejaya
31. Pa’jaiyang
32. Ammesangeng
33. Samariga
34. Leang-leang
35. Tompo’balang
36. Labuang
37. Karaso
38. Bonto Labbua
39. T a b b u a
40. Balombong
41. Balanga
42. Tala’mangape
43. Sanggalea

I Lamo Daeng Ngiri memperistrikan I Daeng Sibollo namun dalam perkawinanya, Beliau tidak mempunyai keturunan sehingga ketika mangkat yang naik tahta menggantikannya ialah keponakannya bernama Muhammad Yunus Daeng Mumang putera dari adik kandungnya I Tate Daeng Masiang yang diperistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki saudara tertua dari I Kamummu Daeng Macora, istri dari Syech Abdul Razak Puang Palopo (Syech Besar Tarekat Khalwatiah Samman)/Putera dari La Mappangara Arung Sinri, Tumarilaleng Bone Matinroe ri Sessoe.

No comments:

Post a Comment