LATAR BELAKANG SEJARAH
Pada awalnya
di Wilayah Turikale hanya berdiam segelintir manusia dengan cara
hidup tidak menetap. Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan
daerah persawahan. Sungai Maros melintas ditengahnya. Setelah Karaeng
LoE ri Marusu (Raja Maros III) memindahkan pusat kerajaan dari Pakere
ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa kampung di sekitarnya yang
banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat kerajaan yang baru
membuka perkampungan dan pemukiman baru. Dengan demikian secara
lambat laun wilayah Turikale pun mulai ramai ditempati orang sehingga
tercipta menjadi sebuah perkampungan dan pemukiman penduduk yang
ramai dan berkembang.
Ketika Maros
menjadi sebuah Kerjaan Islam di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali
(Karaengta Barasa), daerah ini dijadikan sebagai tempat pendidikan
agama Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama dari Kerajaan Gowa/Tallo.
Putera
Karaengta Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare
Yunusu), dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama
Islam di Bontoala. Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan
salah seorang putera Raja Tallo (I Mappau’rangi Karaeng Boddia)
yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri. Persahabatan yang terjalin di
antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua setiap ada kesempatan
saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal, baik
menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.
Setelah
Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta
menggantikan ayahnya sebagai Raja Maros VIII. Sebagai raja yang bijak
dan alim serta tinggi ilmu agamanya, tentulah Ia ingin pula memajukan
Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam di kerajaannya, seperti yang
telah dirintis oleh almarhum ayahandanya. Kemudian diajaknya
sahabatnya ketika menjalani pendidikan dulu (I Mappibare Daaeng
Mangiri) untuk menetap di Maros demi mewujudkan keinginannya. I
Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan memenuhi ajakan
sahabatnya lalu menetaplah Ia di Maros dan kepadanya diberikan
Wilayah ini sebagai wilayah yang dikuasainya sekaligus sebagai tempat
I Mappibare Daeng Mangiri melaksanakan kegiatan pengembangan Ilmu
Agama Islam. Perkampungan yang diberikan kepadanya itu diberi nama
TURIKALE artinya Kerabat Dekat, untuk
memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang diberi kuasa
menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.
Maka jadilah
Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan menjadi
wilayah yang teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama Islam.
Banyak ulama dari berbagai negeri datang ke Turikale, bahkan ulama
keturunan Sayyid pun
berlabuh di Turikale yang selanjutnya menempati perkampungan bernama
Labuan dan Kassi.
Tarekat
Khalwatiah Yusuf/Tajul Khalwatiah berkembang dengan pesat akibat
integrasi dan kulturasi para ulama dengan sanak keluarga dan pengikut
I Mappibare Daeng Mangiri. Meski kelihatan bahwa Turikale telah
menjelma menjadi sebuah wilayah yang berkembang, namun statusnya
sebagai wilayah otorita pengembangan Islam tetap dipertahankan, tetap
seperti ide dasar pembentukannya. Bukan sebagai wilayah hukum
berpemerintahan sehingga kesannya seperti sebuah daerah khusus
istimewa.
I Mappibare
Daeng Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa bernama I
Duppi Daeng Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya digantikan
oleh puteranya bernama I Daeng Silassa. Keadaan Turikale dari waktu
ke waktu, tahun ke tahun menjadi semakin ramai dan berkembang. I
Daeng Silassa memperistrikan sanak keluarganya dari Gowa/Tallo yang
bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan sepasang putera-puteri,
yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.
I Lamo Daeng
Ngiri inilah yang kemudian membuka babakan baru di Turikale setelah
menjadikan Turikale tidak saja sebagai daerah pengembangan Agama
Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi dan
berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I
Lamo Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat
luas bahkan meliputi kurang lebih 40 kampung menyatakan ikut dalam
wilayah hukum Turikale.
Sejak itu,
sekitar tahun 1796, kurang lebih lima puluh tahun sejak dibuka oleh I
Mappibare Daeng Mangiri, akhirnya oleh cucunya I Lamo Daeng Ngiri
memproklamirkan berdirinya Turikale sebagai sebuah Kerajaan
berpemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan hukum kerajaan
manapun juga.
LAHIRNYA SISTEM PEMERINTAHAN ADAT DI TURIKALE
Setelah
berdiri sebagai sebuah wilayah pemukiman terbuka selama kurang lebih
lima puluh tahun, maka sejak tahun 1796 oleh I Lamo Daeng Ngiri, cucu
dari I Mappibare Daeng Mangiri mendirikan sistem pemerintahan adat
secara resmi di Turikale dan oleh para pemuka masyarakat menetapkan
secara resmi I Lamo Daeng Ngiri sebagai kepala pemerintahan dengan
gelar I DAENG ri TURIKALE.
Sebagai I
Daeng ri Turikale yang pertama, I Lamo Daeng Ngiri mulai menata
sistem pemerintahan secara teratur. Pada kampung-kampung yang
menyatakan diri mengikuti prngaruhnya diangkat kepala-kepala kampung.
Pada kampung yang penduduknya berbahasa Makassar, kepala kampungnya
disebut Gallarang, sedangkan yang berbahasa Bugis kepala kampungnya
disebut Matoa. Sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan dan
belanja kerajaan mulai dilakukan secara sederhana meski masih
bersendikan pada aturan Islam secara dominan.
Wilayah-wilayah
yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu :
1. Redaberu
2.
Solojirang
3.
Bontokapetta
4.
Kasuwarang
5. Soreang
6. Bontocabu
7. T a m b u
a
8. Kassijala
9.
Pattalasang
10. Rea-rea
11.
Manrimisi Turikale
12. Kuri
Caddi
13.
Sungguminasa
14. D a t a
15.
Panaikang
16. Buttatoa
17. Tumalia
18. Baniaga
19. Maccopa
20. K a s s
i
21. B u l o
a
22. Sangieng
(Tana Matoana Turikale)
23. Pakalli
24.
Bonti-bonti
25. Paranggi
26.
Moncongbori
27. Mangngai
28. Manarang
29. Camba
Jawa
30. Bunga
Ejaya
31.
Pa’jaiyang
32.
Ammesangeng
33. Samariga
34.
Leang-leang
35.
Tompo’balang
36. Labuang
37. Karaso
38. Bonto
Labbua
39. T a b b
u a
40.
Balombong
41. Balanga
42.
Tala’mangape
43.
Sanggalea
I Lamo Daeng
Ngiri memperistrikan I Daeng Sibollo namun dalam perkawinanya, Beliau
tidak mempunyai keturunan sehingga ketika mangkat yang naik tahta
menggantikannya ialah keponakannya bernama Muhammad Yunus Daeng
Mumang putera dari adik kandungnya I Tate Daeng Masiang yang
diperistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki saudara tertua dari I
Kamummu Daeng Macora, istri dari Syech Abdul Razak Puang Palopo (Syech Besar Tarekat Khalwatiah Samman)/Putera dari La Mappangara
Arung Sinri, Tumarilaleng Bone Matinroe ri Sessoe.
No comments:
Post a Comment